Dzikir, Shalat dan Do'a


A.  ZIKR
Zikir atau zikrullah artinya ingat atau mengingat Allah, yaitu menyebut nama Allah atau membaca la ilah illa allah, (tiada Tuhan selain Allah). Zikir merupakan ucapan yang baik dan bermakna ibadah.   Anjuran untuk zikr diungkapkan oleh Alquran dalam berbagai ayat yang pada umumnya dikaitkan dengan balasan kepada orang yang berzikir yang akan diingat Allah dan dianugrahi berbagai kebaikan.

Suruhan Allah mengenai zikir berbeda dengan suruhan-Nya untuk amal lainnya. Untuk amal lainnya Allah menganjurkan untuk berbuat amal yang paling baik (ahsanu amala), bukan yang paling banyak (aktsaru amala). Khusus untuk zikir Allah justru menyuruh memperbanyaknya siang dan malam.
Dorongan Allah untuk berzikir dalam Alquran diungkapkan dalam berbagai konteks antara lain:
1.    Berzikir (ingat pada Allah) berarti bersyukur kepada Allah[1] dan Allah akan mengingatnya. Sebaliknya orang yang enggan berzikr berarti melupakan Allah dan menolak nikmat-nikmat-Nya (kufr).
2.    Banyak berzikir merupakan amalan yang sangat baik dan orang yang banyak berzikir dalam hidupnya termasuk orang yang panjang umur dan beramal baik[2].
3.    Berzikir merupakan ciri Ulul Albab (orang yang berakal)[3], yakni orang yang berzikir dalam berbagai situasi dan kondisi serta berpikir tentang kemahakuasaan Allah
4.    Berzikir hendaknya dilakukan setiap saat; siang maupun malam[4], artinya seorang muslim harus selalu menghjadirkan Allah dalam hatinya kapan dan di mana saja serta dalam kondisi apa saja.
5.    Berzikir hendaknya dilakukan dengan rendah hati dan takut (segan) kepada Allah serta diucapkan dengan tidak terlampau keras[5].
6.    Orang yang sedikit berzikir adalah orang munafik[6]
Zikr yang baik adalah yang membekas, yaitu zikr yang yang dilakukan secara tetap dan berlangsung terus menerus disertai dengan kehadiran hati, yakni menghadirkan hati beserta Allah.  Zikr kata Imam Ghazali ada permulaannya dan ada pula akhirnya. Permulaannya adalah ketenangan dan kecintaan sedangkan akhirnya adalah ketenangan dan kecintaan. Ketenangan dan kecintaan yang pertama datang dari luar, sedangkan yang kedua menjelma dan timbul dari dalam dirinya yang kesemuanya menuju kepada ketenangan dan kecintaan abadi.
Zikr atau mengingat Allah adalah mengaitkan hati dengan Allah sehingga hati terisi dengan asma Allah sehingga menutup hati dari bisikan setan yang dapat membawa orang kepada dosa.
Ibadah yang dikaitkan dengan zikr adalah Shalat sehingga sering disebut bahwa inti sari Shalat adalah zikr, sebab sepanjang Shalat orang mengingat dan berhubungan dengan Allah. Shalat sebagai zikr mengandung arti hubungan atau  komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya. Karena itu zikr dan Shalat merupakan dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Zikr dan Shalat merupakan implementasi dari tugas hidup manusia sebagai hamba Allah (‘abdullah), karena itu Shalat menjadi pokok ibadah. Hakekat ibadah adalah tugas persembahan kepada Allah yang berintikan ketaatan, ketundukkan, kepatuhan dan kepasrahan.

B.   Shalat
1. Urgensi Shalat
Shalat adalah bentuk ibadah yang bersifat ritual, terdiri dari gerakan dan bacaan tertentu serta dilaksanakan pada waktu-waktu dan syarat-syarat tertentu pula. Gerakan maupun bacaan dalam Shalat yang bersifat tetap (tidak boleh dirubah sepanjang masa), merupakan refleksi dari ketaatan seorang muslim terhadap perintah Allah. Karena itu, apakah orang itu memahami makna bacaan dan gerakan Shalatnya atau tidak, hal itu tidak akan menunjukkan sah dan tidaknya Shalat. Secara ritual, kalau orang sudah melaksanakan Shalat sesuai dengan syarat dan rukunnya, maka orang itu telah sah menunaikan kewajiban Shalatnya.
Shalat merupakan aktualisasi makna iman yang bersemayam di dalam kalbunya, dan meninggalkan Shalat berarti kufur terhadap hal yang wajib diimaninya. Dengan Shalat dari mulai niat (awal) hingga salam (akhir) berarti ia mengingat Allah, hal-hal yang ghaib, Al-Quran,  Rasulullah, dan hari akhir. Bahkan tatkala seseorang sedang sujud dalam Shalat merupakan saat-saat terdekat hubungannya dengan Allah.  Karena itu, Shalat merupakan bukti keimanan seseorang. Meninggalkan Shalat berarti bukti kekufuran[7]. Dengan demikian Shalat merupakan ibadah yang sangat penting bagi seorang muslim sebagai aktualisasi dari keyakinannya.

2.  Makna Shalat bagi Kehidupan
Shalat bagi seorang muslim di samping merupakan kegiatan ritual, juga memiliki makna yang dalam bagi kehidupan, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Beberapa makna yang terkandung dalam Shalat dapat dikemukakan sebagai berikut:

Shalat Dapat Mengembangkan Diri   

Dengan mencermati seruan (adzan) untuk mendirikan Shalat, setelah hayya a’alashalaah dilanjutkan diikuti dengan hayya ‘alal falaah. Demikian juga dengan mencermati ayat-ayat pertama dalam surah al-Baqarah setelah dikemukakan kewajiban-kewajiban sifat-sifat orang yang bertakwa dikemukakan tujuan yang hendak dicapainya, yaitu muflihuun (orang-orang yang berbahagia).[8]  Kata muflih berasal dari kata Arab falaha, artinya membelah sesuatu. Kata al-falaah bentuk infimitif dari kata muflih, artinya sukses dan mencapai sesuatu yang diinginkan secara sempurna. Maulana Muhammad Ali[9] menerangkan bahwa falah (kesuksesan) itu ada dua macam, Pertama berhubungan dengan kebahagiaan dunia, dan kedua bertalian dengan kebahagiaan akhirat. Tercapainya kebahagiaan dunia berarti membuat kehidupan dunia menjadi baik dan tercapainya kehidupan dunia yang baik; hal yang baik-baik sifatnya baqa (serba ada), gina (serba kecukupan, dan ‘izz (serba terhormat). Orang yang mendirikan Shalat seharurnya mengembangkan dirinya untuk meraih sifat-sifat di atas.

Tercapainya kehidupan yang baik di akhirat menurut Imam Raghib sebagaimana dituliskan oleh Maulana Muhammad Ali [10] menyangkut empat hal, yaitu hidup yang tak mengenal mati, kaya yang tak mengenal kekurangan, kehormatan yang tak mengenal kehinaan, dan ilmu yang tak mengenal kebodohan. Jadi Shalat yang didirikan itu hendak mencapai kebahagiaan dalam arti perkembangan lahir dan batin manusia secara sempurna dan manusiawi.

Shalat Memperbaiki Akhlak

Di antara hikmah Shalat adalah keberpihakan orang yang Shalat kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan keji dan munkar[11], rendah hati, tidak suka berbuat sewenang-wenang, menghindari maksiat, berzikir dan menyayangi orang-orang yang lemah[12].  
Dengan demikian, hikmah pokok dari ibadah Shalat itu mengangkut pendidikan untuk memperbaiki akhlak. Orang yang mendirikan Shalat haruslah melahirkan bekas dan kesan yang mendasar dalam tingkah laku , sikap dan budi pekerti orang yang melakukan Shalat itu sendiri.

Shalat Membina dan Membersihkan Jasmani dan Ruhani

Sebagaimana kita maklumi, bahwa manusia tediri dari jasmani dan ruhani yang padu. Amaliah wudlu yang dilakukan sebelum Shalat dapat membersihkan ragawi manusia dari berbagai kotoran, najis dan hadats. Demikian halnya amaliah Shalat sebagai suatu gerakan dapat menyehatkan dan menyegarkan badan, Posisi kepala di bawah tatkala sujud dapat melakcarkan peredaran darah, dan masih banyak lagi contoh yang dapat difahami hikmah Shalat dalam menyehatkan jasmani kita.
Rohani manusia yang berasal dari ruh Allah Swt., ia menghajatkan pembinaan dan pembersihan dari perbagai kotoran dan gangguan. Ia menghajatkan pada komunikasi yang terus menerus dengan Allah. Shalat didirikan untuk mengingat Allah serta menjalin komunikasi dengan-Nya[13]. Rohani yang kotor akan mendorong perbuatan kotor dan jahat, sebaliknya rohani yang bersih akan mendorong pada perbuatan yang terpuji dan diridhai Allah.
Dengan ibadah Shalat jiwa akan menjadi bersih dan suci, badan menjadi sehat, fikiran menjadi cerdas, ia akan mempunyai kemampuan untuk menimbang dan mengambil keputusan yang tepat,  sehingga dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidup dan kehidupannya.

Shalat Melatih Kedisiplinan

Shalat merupakan kewajiban atas setiap muslim yang mukallaf untuk dilaksanakan pada waktunya sebagaimana yang telah ditentukan[14]. Ketika Rasulullah Saw ditanya oleh sahabat Ibnu Mas’ud: “Apakah amalan yang paling disukai oleh Allah?  Rasulullah menjawab: Mendirikan Shalat pada (awal) waktunya. Hal ini berarti bahwa Shalat itu haruslah dilaksanakan pada waktunya, dan yang paling baik di awal waktu, sebab kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita setelah hidup detik ini.
Di samping ketentuan waktu yang harus ditepati, ketentuan tata cara, tata laksana, dan bacaannya haruslah disiplin sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. sebagaimana sabdanya: “Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku Shalat”. (H.R. Bukhari dan Muslim). Tidak disiplin dalam Shalat seperti merubah, mengurangi, mendahului imam, dan menambah aturan yang terlah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw merupakan perbuatan bid’ah yang menyebabkan Shalat tidak diterima oleh Allah[15].
Dari uraian di atas dapatlah diangkat maknanya bahwa Shalat harus dilakukan dengan disiplin dan taat atas ketententuan-ketentuan yang telah digariskan oleh syari’at. Oleh karwena itu maka salah satu hikmah Shalat yang harus diimplementasika dalam kehidupan kita sehari-hari adalah menegakkan disiplin pada aturan dan pimpinan. 

Shalat Membina Persatuan dan Kebersamaan

Shalat merupakan ibadah yang diwajibkan secara individual (fardu ‘ain) kepada yang mukallaf. Di dalam hal ini tidak ada perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin, yang berilmu dengan yang bodoh, yang tinggal di kota dengan yang di kampung, baik tatkala ada di tempat tinggal maupun di perjalanan, baik yang sehat maupun yang sakit,  dalam keadaan aman maupun tidak aman; Shalat wajib didirikan dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Dalam Shalat berjamaah, shaf wajib ditertibkan dan diluruskan, bagi siapa saja yang lebih awal masuk mesjid berhak menempati shaf yang paling baik (depan). Semua jamaah berdiri sama tinggi, ruku’ sama bongkoknya, sujud sama rendahnya, dan lain-lain. Hal ini merupakan gambaran dan pelajaran bahwa dalam Shalat terwujud rasa persatuan dan kebersamaan, senasib dan sepenanggungan, secita-cita serta seperjuangan.

Shalat Menanamkan Ketenangan dan Ketentraman

Sudah menjadi tabi’at manusia, kikir, mengeluh dan susah, namun bagi orang-orang yang senantiasa mendirikan Shalat tabi’at jelek di atas tidak dimilikinya[16].
Orang-orang yang mempunyai tabi’at jelek tersebut adalah orang-orang yang lupa kepada Allah. Shalat merupakan aktifitas manusia untuk ingat kepada Allah. Dengan Shalat, sifat-sifat itu akan terkikis, dan mengakibatkan tenang dan tentramnya hati[17]. Dengan demikian orang yang Shalat akan tetap tenang dan tentram dalam menghadapi segala keadaan dan peristiwa. Ia tidak akan angkuh dengan kebaikan yang diterimanya dan tidak akan kecewa atau berduka cita serta putus asa bila kebaikan itu lepas dari tangannya. Segala sesuatu yang terjadi adalah dengan kehendak dan ketentuan Allah, ia meyakini bahwa segala kejadian yang menimpa dirinya merupakan hal yang terbaik bagi dirinya dan akan memperoleh hikmahnya. Ketenangan dan ketentraman merupakan kekayaan yang amat berharga lebih dari kekayaan yang bersifat materi.

Shalat Melatih Konsentrasi Pikiran

Shalat hendaklah dilakukan secara khusyu’, dimana pikiran, perasaan, dan kemauan dipusatkan menjadi satu dengan badan untuk  dihadapkan kepada Allah. Bacaan Shalat, berzikir dan berdoa, pemusatan pikiran dan pemahaman tentang isi makna dan maksud yang terkandung di dalamnya dipadukan. Hal yang demikian itu akan membiasakan orang yang Shalat terlatih konsentrasinya, perhatiannya, perasaannya, kemauannya di dalam menghadapi segala persoalan. Dampak yang diharapkan adalah konsentrasi dalam menghadapi setiap problem, menimbang dengan seksama, memikirkan dengan matang, memperhatikan segala aspek dan segi yang mempengaruhinya, memperhatikan dengan teliti, setelah itu barulah ia akan mengambil keputusan yang tepat dan benar. Sehingga ia dapat menjalani kehidupan dengan menyenangkan.

Shalat Menumbuhkan Jiwa Kepemimpinan

Ibadah Shalat yang dilakukan dengan selalu berjamaah sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw akan dapat memupuk jiwa kepemimpinan. Dalam pelaksanaan Shalat berjamaah ada beberapa ketentuan yang harus diperhhatikan dan dipatuhi, di antaranya dalam memilih iman (pemimpin)
Imam dalam Shalat harus memenuhi kriteria tertentu. yaitu orang yang paling baik bacaan al-Qur’annya, kemudian orang yang paling mengetahui sunnah rasul, lalu orang yang paling dahulu hijrahnya, orang yang paling tua usianya, dan memprioritaskan tuan rumah daripada pendatang. Selain itu, Islam mengajarkan agar imam mampu membaca situasi dan keadaan jama’ahnya. Hendaklah ia meringankan (pendek) bacaan Shalatnya tatkala berjamaah, dan memanjangkan baan Shalatnya tatkala sendirian (munfarid).  Seorang imam juga harus sadar diri bila bersalah dan siap untuk dikoreksi. Ia jangan angkuh dan sombong dengan jabatannya sebagai imam. Ia harus bertanggung jawab dalam membawa jama’ahnya dalam Shalat. Bila ia batal, karena batal wudlu misalnya, ia harus legowo meletakkan  jabatannya Kriteria dan sifat-sifat di atas dapat diterapkan dalam memilih pemimpin di luar Shalat, apakah dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, bermasyarakat atau bernegara.
Orang yang Shalat adalah orang yang taat dan berserah diri kepada Allah karena itu ia disebut muslim, sebaliknya orang yang tidak Shalat adalah orang yang menolak perintah Allah, karena itu disebut kafir. Selanjutnya apakah orang yang muslim dan Shalat otomatis dapat disebut mukmin?. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda: Akan datang suatu zaman di mana orang-orang berkumpul di mesjid untuk Shalat berjamaah tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mukmin”. Dalam hadis yang lain beliau bersabda: Nanti akan datang suatu zaman di mana seorang muazin melantunkan azan, kemudian orang-orang menegakkan Shalat, tetapi di antara mereka  tidak ada yang mukmin.
Memahami sabda Rasulullah di atas, orang yang telah Shalat boleh dikatakan muslim, tetapi tidak otomatis dia menjadi mukmin. Mukmin harus ditampilkan dalam berbagai tindakan di luar Shalat. Sebagian di antara ciri mukmin diungkapkan Rasul antara lain menghormati tetangga, menyambungkan tali persaudaraan, berbicara benar, tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan[18]. Ciri mukmin di atas, jika diamati berkaitan dengan hubungan sosial dan kepedulian terhadap sesama atau dengan kata lain berkaitan dengan tanggung jawab sosial. Ciri-ciri tersebut tidak selalu terdapat pada orang yang sudah melaksanakan Shalat, karena itu untuk mencapai tingkat mukmin, maka perjuangan orang yang Shalat adalah menampilkan hubungan dan tanggung jawab sosial di tengah masyarakat.

3. Tanda-tanda orang yang Shalat
Shalat adalah hubungan langsung seseorang dengan Allah, tetapi kebermaknaan Shalat tersebut ditentukan dalam hubungan antar manusia. Apabila Shalat telah dilakukan, tetapi hubungan sosialnya buruk, maka orang tersebut baru mencapai tingkat muslim saja, sedangkan Shalat yang dilakukannya belum memiliki makna. Dari sudut pandang ini tidaklah mengherankan kalau alquran memberikan peringatan lebih jauh, yaitu neraka bagi orang yang Shalat (mushallin), yang Shalatnya lalai, riya dan enggan membayar zakat[19]. Shalat semacam  ini adalah Shalat yang tidak bermakna atau tidak memberi dampak ke dalam hidupnya sehari-hari.
Shalat sebagai bentuk penyerahan diri dan ketundukkan apabila dilakukan dengan ikhlas dan sepenuh hati akan melahirkan kenikmatan dan ketenangan jiwa. Kenikmatan dan ketenangan pada dasarnya adalah hikmah yang dicapai dari Shalat bagi individu orang yang Shalat, sedangkan makna Shalat lebih lanjut justru terletak pada konteks sosialnya, yaitu mencegah dari dosa dan kemunkaran yang tempatnya di tengah masyarakat.
Orang yang diterima Shalatnya bukan hanya ditandai dengan ketenangan pribadi tetapi adanya kepedulian sosial dalam dirinya. Hal ini tampak pada tanda-tanda orang yang diterima Shalatnya sebagaimana yang diungkapkan dalam hadis qudsi[20] yaitu:
Pertama: orang yang merendahkan dirinya karena kebesaran Allah. Sikap ini merupakan refleksi dari rukuk dan sujud yang menggambarkan kemahabesaran Allah dan kesadaran akan kelemahan dan kehinaan manusia. Apabila kesadaran ini telah terbentuk dari Shalat, maka orang akan terhindar dari sikap sombong dan takabur, baik dalam berhubungan dengan sesama manusia maupun dengan makhluk Allah lainnya.
Kedua: orang yang  menahan dirinya dari hawa nafsu karena Allah. Sikap ini terbentuk dari Shalat yang merefleksikan keyakinan akan keesaan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang mendominasi dan tempat menggantungkan dirinya. Karena itu, segala keinginan yang didorong oleh nafsu akan mampu dikontrol dengan baik sehingga orang dapat menahan dan mengendalikan dirinya.
Ketiga: orang yang mengisi sebagian waktunya untuk berzikir kepada Allah. Sikap ini merupakan hasil dari pembiasaan Shalat yang intin sarinya adalah zikir. Shalat yang baik akan memberikan bekas kepada orang yang Shalat dalam bentuk kebiasaan berzikir.
Keempat: orang yang memiliki kepedulian sosial, yaitu sikap perhatian kepada orang lain terutama kepada orang-orang yang kurang beruntung (dhu’afa). Kepedulian tersebut ditampilkan dalam bentuk kesenangan untuk memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang lain yang membutuhkannya, baik dalam bentuk santunan pangan maupun sandang atau perhatian kepada orang yang terkena musibah.
Orang Shalat yang memiliki sifat-sifat di atas dijanjikan Allah untuk memperoleh kemudahan di dunia dalam bentuk pemberian cahaya ketika ia kegelapan, pemberian ilmu ketika ia tidak tahu, perlindungan dengan kebesaran Allah, dijaga oleh para malaikat, menjawab doa-doanya apabila ia berdoa, memenuhi permintaannya kalau ia meminta.
Shalat yang berbuah sifat-sifat tersebut di atas sesungguhnya sudah ditampakkan dalam makna bacaan dan secara simbolik tampak pada makna gerakan Shalat. Sebagian besar isi bacaan Shalat adalah doa, disamping takbir dan tasbih. Doa mengisyaratkan kerendahan dan kelemahan diri di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Karena itu dengan Shalat orang menyerahkan dirinya ke hadapan Allah Yang Maha Besar. Demikian pula, takbir dan tasbih mengisyaratkan kemahakuasaan dan kemahasucian Allah dan pengakuan akan kekecilan dan kekurangan manusia.
Dalam gerakan Shalat terdapat isyarat ketundukkan dan ketaatan. Takbir dengan cara mengangkat kedua tangan menyimbulkan penghormatan kepada Allah dan sekaligus pengakuan terhadap kebesaran-Nya sambil mengucapkan Allahu Akbar. Ruku dan sujud mengisyaratkan penyerahan diri kepada-Nya tanpa reserve. Badan yang tegak sebagai simbol kemuliaan manusia, tetapi dalam rukuk badan itu dibungkukkan sebagai isyarat penghormatan yang tiada tara kepada Allah. Kepala yang merupakan simbol harga diri, tetapi dalam sujud diletakkan di tempat yang paling rendah (lantai) sebagai bukti manusia tidak memiliki harga dan kemuliaan apapun di hadapan  Allah Yang Maha Mulia.
Totalitas penyerahan diri manusia dalam Shalat diakhiri dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri yang mengisyaratkan bahwa ketaatan kepada Allah harus dibuktikan dengan menebarkan kedamaian di kalangan manusia sehingga orang yang Shalat selalu mengembangkan perdamaian dengan sesama.
Shalat sebagai hubungan langsung seorang hamba dengan Allah pada waktu-waktu tertentu bukan hanya berhenti sampai dengan salam. Salam adalah perhentian ritual, sementara ruh Shalat dibawa kemana pun perginya orang yang Shalat. Shalat yang baik adalah Shalat yang memiliki dampak bagi kehidupan orang yang Shalat, yaitu Shalat yang mampu mencegah dari dosa dan kemunkaran. Karena itu, orang yang Shalat tidak cukup hanya sampai melaksanakan Shalat pada waktunya saja, tetapi membawa ruh Shalat dalam kehidupannya di luar Shalat. 
Shalat fardhu yang telah ditentukan waktunya dapat dilihat pula sebagai penataan waktu yang dilalui seorang muslim untuk mengevaluasi perjalanannya secara rutin. Seorang muslim mengawali kehidupan barunya dengan menghadap Allah melalui Shalat Subuh. Ia melapor, meminta perlindungan dan pengarahan, serta memanjatkan harapan dan doanya sehingga melarutkan dirinya dalam dialog yang inteks dengan Allah dalam Shalat subuh. Misi dan kesucian Shalat subuh akan membawa dan mewarnai jam-jam berikutnya yang dialami dan dilewati seorang muslim dalam kehidupannya hingga saat Zuhur. Zuhur kembali menghadap Allah melapor dan melarutkan dirinya dalam rukuk dan sujud serta kembali meneruskan perjalanannya sampai asar. Demikian seterusnya hingga  magrib dan isya. Perjalanan hidup yang teratur seperti itu meletakkan seorang muslim pada situasi dan kondisi yang dekat dengan Allah. Shalat akan mengarahkan dan memberi warna pada kehidupan orang di luar Shalat sehingga sedikit kesempatan untuk menghindar dan melupakan Allah. Apabila Shalat telah diperankan seperti itu, maka fungsi Shalat sebagai tanha an al fakhsya wa al munkar dapat diwujudkan dalam kehidupan orang yang Shalat.

C. Do’a dan ikhtiar
1. Konsep Doa dan Ikhtiar
Disamping zikr dan Shalat, ritual yang amat penting dalam ajaran Islam adalah do’a, yaitu permohonan seorang hamba kepada Tuhannya. Sebagai ibadah do’a merupakan bentuk penyerahan diri serta pengakuan akan keterbatasan manusia. Karena itu tidaklah mengherankan kalau Nabi menyebut do’a sebagai otaknya ibadah.
Konsep do’a terlahir dari pengakuan akan keterbatasan manusia dan sekaligus keyakinan akan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Manusia dalam konteks apapun adalah makhluk yang memiliki batas kemampuan, baik fisik maupun pikirannya. Bersamaan dengan itu, ia memiliki pula harapan-harapan sebagai ciri orang yang hidup dan memiliki kehidupan. Karena itu setiap orang memerlukan do’a yang memberinya harapan dan ketentraman batin.
Banyak orang –termasuk orang-orang terpelajar- beranggapan bahwa berdoa’ sebagai ‘opium’. Do’a bagi mereka adalah kelemahan yang berkedok kekuatan, eskapisme, kepahlawanan yang pudar, kemalasan, dan kekerdilan lainnya. Dalam pandangan mereka, orang yang gigih berdo’a cenderung malas berfikir, enggan berusha dan berikhtiar, berspekulasi, yang semestinya dilakukan dalam kehidupan individual dan sosial. Pandangan semacam itu, kata Ali Syariati [21] berasal dari periode-periode pra Islam yang pada akhirnya menyusup ke mentalitas kaum muslimin dewasa ini. Ia menolak keras pandangan di atas, do’a malah menambahkan kekuatan yang sudah ada  dengan kekuatan baru dan membuat kebaikan menjadi lebih langgeng dalam konstruksi kehidupan sosial maupun individual. Dalam pandangan Islam berapa pada peringkat setelah tugas dan daya upaya yang sudah dilakukan secara terus menerus dan sabar.
Masih ada pula orang yang bertanya, apakah gunanya do’a bagi manusia, sedang Allah menentukan qadha dan qadarnya, atau suratan taqdir telah digariskan-Nya? Apakah qadha dan qadar dapat dirubah oleh manusia dengan do’anya? Bukankan qadha dan qadar tidak dapat dirubah oleh siapapun?
Al-Ghazali menjawab bahwa bala itu dapat dihilangkan dengan do’a, karena do’a itu menjadi satu sebab untuk menapik sesuatu bala. Ia mengibaratkan do’a sebagai tameng untuk menolak sesuatu pukulan senjata, atau laksana air yang menyebabkan tumbuhnya tumbuh-tumbuhan di muka bumi. Sebagaimabna antara tameng dengan senjata dalam hal tarik menarik dan tolak menolak, begitupun antara do’a dengan qadha dan qadar, namun tetap yang berhak merubah qada dan qadar Allah itu adalah Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dengan demikian dapatlak dipahami dengan mudah, serta tidak cukup alasan bagi kita untuk tidak mempergunakan usaha dan ikhtiar dalam kehidupan seorang muslim.
Dalam antologi do’a-do’a yang diajarkan Islam, ternyata Rasulullah Muhammad Saw tidak berdo’a sebelum ia bekerja maksimal, tetapi sebaliknya, ia berdo’a setelah berusaha maksimal. Lihatlah kapan Rasulullah berdo’a?  Beliau berdo’a setelah segala kebutuhan untuk berperang dipersiapkan, Beliau mengumpulkan kekuatan, merapatkan barisan, merancang strategi, kemudian berdo’a. Dalam sebuah riwayat diungkap bahwa Beliau menegur sahabat yang duduk bersimpuh di mesjid dan terus menerus berdo’a minta dituirunkan rizki dari langit sementra sahabat lainnya sibuk mencari nafkah, lalu rasulullah memberi jalan kehidupan dengan memberikan kampak kepadanya untuk mencari kayu bakar. Sekali lagi, inilah Islam.
Lalu, mengapa kita harus berdo’a? Ada beberapa alasan mendasar yang menuntut seorang muslim harus berdo’a, yaitu sebagai berikut:
Panggilan Jiwa
Jiwa manusia cenderung untuk meminta pertolongan manakala dirundung malang atau terkena musibah. Nabi Adam dan Siti Hawa meminta pertolongan Allah tatkala mereka sadar telah terjerumus pada larangan mendekati buah khuldi, seraya berdo’a: “Ya Tuhan kami kami telah menganiaya diri kami, dan sekiranya Engkau tidak mengampuni kami dan merahmati kami, niscaya kami tergolong orang-orang yang rugi”. (Q.s. al-A’raf: 23-24).  Tatkala kapal Tampomas tenggelam, pers menyiarkan bahwa seluruh penumpangnya seraya berdo’a minta keselamatan. Demikianlah manusia “maka apabila mara bahaya menimpanya, ia berdo’a kepada Kami”. (Q.S. al-Zumar: 49).
Perintah Allah
Kaidah ushul menyatakan bahwa “asal dalam sesuatu perintah menunjukkan wajib”. Demikian halnya, berdo’a diperintahkan Allah kepada manusia, dan manusia harus melaksanakannya seperti pada Q.S. al-Mukmin: 60, dan al-A’raf: 180. Keengganan manusia untuk berdo’a atau mengabaikannya merupakan penolakan yang nyata dan kesombongan yang jelas.
Kelemahan Manusia
Sungguhpun manusia diberika akal yang hebat, mengerahkan segala usaha dan ikhtiar secara maksimal, ternyata tidak semua ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan dapat diatasi oleh kemampuannya. Dalam keadaan demikian tinggal satu-satunya harapan, berdo’a mohon pertolongan Allah serta menyerahkan keputusabn akhir hanya kepada-Nya pula (tawakkal).
Ilmu Manusia Terbatas, Ilmu Allah Maha Luas
Ilmu yang dimiliki manusia amatlah terbatas sedangkan ilmu Allah amatlah luas tanpa batas[22]. Oleh karena itu, untuk memecahkan seluruh persoalan-kehidupan manusia, amatlah musykil serta naif jika manusia tidak mengantungkan harapan kepada Allah Yang Maha Tahu.
Manusia Hanya diperintahkan untuk Bekerja
Bekerja atau beramal adalah tugas manusia [23]untuk kemakmuran di muka bumi ini, ia tidak diperintahkan untuk berhasil dalam pekerjaannya, sebab Allah-lah yang mengabulkan putusan akhir tentang hasil atau tidaknya.  Kita kenal pepatah yang menyatakan “ manusia yang merencanakan dan Tuhan yang menentukan”. Untuk itulah manusia diwajibkan untuk berusaha mengubah suatu keadaan secara maksimal serta berdo’a secara sungguh-sungguh serta menyerahkan keputusan akhir kepada Allah. 
Hal-hal di atas merupakan alasan esensial mengapa kita harus berdo’a. Persoalan selanjutnya adalah apa dan bagaimana kedudukan berdo’a dalam kehidupan seorang muslim?
Kedudukan do’a amatlah penting. Pentingnya do’a dapat diungkap dari kenyataan bahwa ternyata Allah Swt dan Rasul-Nya yang mulia memerintahkan untuk berdo’a, dan melaksanakan do’a merupakan ibadah sebagai manifestasi dari perintah tersebut[24].
Do’a sebagai upaya ruhaniah untuk merealisasikan harapan tidaklah dapat berjalan sendirian, ia memerlukan upaya-upaya yang bersifat fisik yang sering disebut ikhtiar. Ikhtiar adalah usaha nyata yang dilakukan untuk menuai harapan yang diiinginkan.
Dalam ikhtiar, manusia diberi kebebasan secara luas untuk melakukan berbagai tindakan konkrit. Kebebasan ini menjadikan manusia sebagai subyek yang menentukan. Tetapi kendatipun demikian tidak berarti manusia memiliki hak yang tak terbatas. Dalam konteks ikhtiar manusia diperkenankan untuk merancang dan melakukan sesuatu yang diinginkannya secara bebas, tetapi dalam perealisasiannya terdapat keterbatasan-keterbatasan. Menghadapi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki manusia berhadapan dengan kemahakuasaan Allah yang tak terbatas, maka Islam memberikan solusi dengan do’a, sehingga keterbatasan itu tidak melahirkan kekecewaan dan keputusasaan. Karena itu do’a dan ikhtiar harus selalu berdampingan karena keduanya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Doa dan ikhtiar apabila dirunutkan kepada tugas esensial manusia, maka doa diletakkan sebagai bentuk perealisasian tugas perhambaan manusia kepada Allah. Adapun ikhtiar merupakan implementasi dari tugas kekhalifahannya di muka bumi. Tugas keabdullahan mengisyaratkan keterbatasan sedangkan khalifah menunjukkan kebebasan manusia. Apabila doa dan ikhtiar dipahami secara utuh sebagaimana melihat dua tugas manusia tersebut,  maka  doa dan ikhtiar tidak akan dipandang sebagai usaha manusia yang saling bertentangan.

2. Keterkabulan dan penghalang do’a
Allah Maha Mendengar karena itu setiap do’a didengar Allah, tetapi ada do’a yang dikabulkan ada juga yang tidak dikabulkan. Keterkabulan doa kemungkinan disebabkan oleh ketidak sungguhan orang yang berdo’a, dosa yang dilakukan si pendoa atau karena Allah berkehendak lain.
Berdoa memiliki tata cara sebagaimana yang diajarkan oleh Rasul, karena itu bisa jadi doa tidak terkabul karena ketidak tepatan dalam caranya. Ketertkabulan do’a itu sangat tergantung pada:
a.    Niat berdo’a; Niat berdo’a hendaklah ikhlas, mengharap rahmat dan keridhaan Allah, serta yakin kepada-Nya [25]
b.    Kepada siapa do’a dipanjatkan; Do’a yang akan kabulkan Allah adalah do’a yang hanya dipanjatkan kepada-Nya saja [26]
c.    Orang yang berdo’anya; Orang-orang yang makbul do’anya banyak diceriterakan dalam hadits, antara lain imam (pemimpin) yang adil, Orang yang teraniaya, ibu/bapak terhadap anaknya, orang-orang yang shalih, anak yang patuh terhadap orang tuanya, orang yang sedang dalam perjalanan, orang yang sedang berpuasa, orang muslim yang mendo'’kan temannya yang jauh, orang muslim yang berdo’anya bukan hal dosa dan memutuskan silaturahmi, orang yang sedang dalam kesulitan hidup, yang sedang beribadah haji dan umrah, orang yang hafal al-Quran, yang lanjut usia dan taat kepada Allah, yang disantuni kepada yang menyantuni, yang membiasakan berdo’a waktu dalam kesenangan, sekelompok atau kumpulan orang-orang shalih.
d.    Sesuatu yang dido’akannya; Tidak setiap segala sesuatu boleh diminta kepada Allah. Ia melarang hal-hal mustahil adanya, hal-hal yang jelek, dan hal-hal yang dilarang oleh syara’.
e.    Cara-cara merdo’anya; Do’a sebagai ibadah,  pelaksanaannya harus dengan cara-cara tertentu yang disyari’atkan Islam, yakni dengan penuh keyakinan, rendah hati dan khusyuk, suara lembut, merasa takut dan harap,  mengawali dengan memuji Allah dan membaca shalawat, memperbaharui taubat, menghadap kiblat, menyampaikan doa diulang-ulang sampai tiga kali dan kata-kata yang jelas serta dapat dipahami. dan mengakhirinya dengan shalawat dan hamdalah.
f.     Waktu berdo’anya; Hendaklah memilih waktu yang mustajab, yakni waktu-waktu yang dianjurkan untuk berdo’a, yaitu waktu mulia seperti hari Arafah, bulan Ramadhan, lailatu al-qodar, ketika adzan dan iqamah kumandangkan, antara dua khutbah, ketika berbuka puasa, malam ied al-fitri dan adha, ketika sujud dan ruku’, hari dan malam jum’at, setiap ba’da Shalat, sepertiga malam terakhir (sahur), waktu turun hujan, saat bertemu musuh di medan jihad, sewaktu air mata mulai berderai, waktu dalam perjalanan, dan lain-lain.
g.    Tempat berdo’anya; Hendaklah memilih tempat-tempat mulia dan mustajab, antara lain di majlis dzikir, di mesjid, di tanah lapang, di tanah haram, di dalam ka’bah, di Hijir Ismail, di pojok-pojok ka’bah, di multazam, di belakang maqom Ibrahim, di sumur zam-zam, di Shafa dan Marwah, di Arafah (masy’ar al-haram), di Muzdalifah, di Mina
Bila ketujuh hal di atas terpenuhi maka do’a seseorang pasti terkabul oleh Allah Swt. Hanya saja pengabulan do’a ini ada beberapa model dan kemungkinan atau alternatif, yang kita –sebagai manusia- tidak tahu secara pasti. Kemungkinan tersebut berupa:
a.    Dikabulkan secara kontan sesuai dengan permintaan;
b.    Diganti dengan hal lain, mungkin serupa, mungkin berbeda dengan hal yang diminta, tetapi yang jelas Allah lebih tahu hal yang terbaik bagi hambaNya.
c.    Dihindarkan dari suatu bencana yang akan menimpanya;
d.    Diampuni dosa-dosanya; Do’a sebagai kifarat dosa.
e.    Ditunda pengabulannya oleh Allah sampai waktu tertentu yang kita –manusia- tidak tahu secara pasti[27].
          Jika do’a tidak dikabulkan berarti ditolak. Do’a akan tertolak bila tidak memenuhi syarat-syarat atau kriteria diterimanya do’a seperti yang telah dijelaskan di atas. Untuk lebih jelas lagi, perhatikan secara cermat sebab-sebab tertolaknya do’a sebagai berikut:
a.    Jika berdo’a dengan cara-cara yang diajarkan Islam.
b.    Jika berdo’a dengan tidak memenuhi syarat-syarat diterimanya do’a.
c.    Jika mengkonsumsi makanan/minuman atau berpakaian yang haram[28].
Ibrahim ‘Adham menambahkan sebab-sebab tertolaknya do’a karena:
a.    Seseorang mengaku mengenal Allah tetapi hak-haknya tidak dipenuhi (tidak mau beribadah dll.)
b.    Seseorang membaca al-Quran tetapi isinya tidak diamalkan dalam kehidupannya.
c.    Seseorang mengaku mencintai Rasulullah tetapi sunnahnya tidak dijalankan.
d.    Seseorang mengaku bahwa syetan sebagai musuhnya tetapi patuh kepada bujuk rayunya.
e.    Seseorang berdo’a untuk terhindar dari keburukan dan neraka tetapi selalu berbuat dosa.
f.     Seseorang berharam mendapatkan kebahagiaan dan masuk sorga tetapi enggan beramal ibadah.
g.    Seseorang meyakini kematian pasti menjemputnya tetapi ia tidak mempersiapkannya.
h.    Seseorang yang selalu sibuk dengan ‘aib orang lain sementara ‘aibnya enggan untuk introspeksi.
Berdo’a juga tergantung kepada siapa orangnya, apabila do’a disampaikan oleh seorang pendosa, maka mungkin saja do’a dapat ditolak. Allah Maha Suci, dan berdoa merupakan permintaan dari makhluk kepada Yang Maha Suci. Oleh sebab itu, kesucian diri merupakan prasyarat untuk mendekati-Nya. Tidak heran kalau para ulama menganjurkan agar berdoa itu dimulai dengan permintaan ampunan (istigfar) sebagai usaha untuk menghilangkan dosa terlebih dahulu sebelum permintaan disampaikan.
Di samping sebab-sebab di atas, ketidak terkabulan doa juga disebabkan oleh karena kehendak Allah berbeda dengan kemauan orang yang berdoa. Fenomena ini mudah untuk dipahami dan diterima apabila dikaitkan dengan kasih sayang Allah. Allah Yang Maha Pengasih selalu memberikan yang terbaik bagi makhluknya, termasuk bagi orang yang berdoa. Allah Maha Tahu baik dan buruknya keinginan sang pendoa apabila doanya itu dikabulkan atau ditolak. Allah selalu memberikan yang terbaik bagi umatnya, karena itu bisa jadi tidak dikabulkannya doa seseorang merupakan pemberian Allah yang terbaik bagi orang itu. Jadi, apabila do’a tidak terkabul tidak bisa menyalahkan Allah dengan menggugat janjinya bahwa siapa orang yang berdoa niscaya akan dikabulkan-Nya. Setiap doa yang diucapkan selalu bertujuan untuk meminta kebaikan bagi dirinya. Tetapi manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui implikasi dari sesuatu yang dimintanya itu sebagai suatu kebaikan yang hakiki bagi dirinya. Karena itulah, berdo’a dipandang sebagai ibadah atau sesuatu bentuk perhambaan yang dikabul atau tidaknya harus diterima dengan kepasrahan.

Referensi
Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI.
Ali Syari`ati, Do`a,
Muhsin Qira`ati, Pancaran Cahaya Shalat.
Tafsir Ibn Katsir
Tafsir Al-Quran Maulana Muhammad Ali.



[1] QS.Albaqarah: 152
[2] Ibn Katsir Jilid 3
[3] QS.Ali Imran:191
[4] Qs.An-nisa:103
[5] QS.Al-A’raf:205
[6] QS.An-Nisa:142
[7]   Rasulullah bersabda: “Batas atau pembeda antara hamba (seseorang yang taat beribadah) dengan orang kafir adalah meninggalkan salat” (H.R. Muslim). Hadis lainmenyebutkan: “Ikatan antara mereka dengan kami adalah salat, barangsiapa menginggalkannya maka ia telah kafir”. (H.R. Turmudzi dan Nasai) Riwayat lain mengatakan: “Para sahabat Rasulullah Muhammad Saw. tidak pernah menilai suatu amalan yang ditinggalkan sebagai kekufuran kecuali salat”.
[8]   Q.s. al-Baqarah:5
[9]   Maulana Muhammad Ali, Tafsir Al-Quran, (1976:240)
[10] Ibid, (1976:240)
[11] “Dirikanlah salat, karena sesungguhnya salat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar”. (Q. al-‘Ankabut: 45). 
[12] “Sesungguhnya aku menerima salat yang merendahkan diri karena kebesaran-Ku dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap makhluk-Ku dan tidak terus menerus berbuat maksiat kepada-Ku. Dan ia menghabiskan –waktu- siangnya  untuk ingat kepada-Ku (dzikrullah), dan ia sayang kepada orang-orang miskin, ibnu sabil dan janda serta sayang terhadap orang yang tertima musibah”. (H.R. Al-Bazzar)
[13] (Q. Thaha: 14). 
[14]             Allah berfirman yang artinya dapat dipahami secara gamblang bahwa: “….  dirikanlah salat, karena sesungguhnya salat itu diwajibkan kepada mukminin pada waktu-waktu yang ditentukan”. ( Q. an-Nisa: 103).  
[15] “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami (ibadah langsung) ini dengan sesuatu yang bukan dari kami (Rasulullah Muhammad Saw), maka hal demikian itu ditolak”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

[16] “Sesungguhnya manusia dijadikan bersifat tamak, mengeluh apabila kesusahan menimpanya, dan kikir apabila dianugerahi keuntungan, kecuali orang-orang yang salat, yang mendirikan salat mereka.”(Q.S. Al-Ma`arij; 19-23)

[17] “Supaya kamu tidak berputus asa karena ada yang luput daripadamu dan supaya jangan terlalu gembira dengan apa yang datang kepadamu dan Allah tidak suka kepada orang-orang yang angkuh lagi sombong.” (Q.S. Al Hadid; 23)

[18] QS.Al-Maun
[19] Ibid.
[20] Pada sebuah hadis qudsy, Allah berfirman: Sesungguhnya Aku hanya akan menerima salat orang-orang yang merendahkan dirinya karena kebesaran-Ku, menahan dirinya dari hawa nafsu karena Aku, yang mengisi sebagian waktu siangnya untuk berzikir kepada-Ku, yang melazimkan hatinya untuk takut kepada-Ku, yang tidak sombong kepada makhluk-Ku, yang memberi makan kepada orang yang lapar, yang memberi pakaian kepada orang yang telanjang, yang menyayangi orang yang kena musibah, yang memberikan perlindungan kepada orang yang terasing. Kelak cahaya orang itu akan bersinar seperti cahaya matahari. Aku akan berikan cahaya ketika dia kegelapan. Aku akan berikan ilmu ketika dia tidak tahu. Aku akan lindungi dia dengan kebesaran-Ku. Aku akan suruh malaikat menjaganya. Kalau dia berdoa kepada-Ku, Aku akan segera menjawabnya. Kalau dia meminta kepada-Ku, Aku akan segera memenuhi permintaannya. Perumpamaannya di hadapan-Ku seperti perumpamaan firdaus.

[21] Ali Syari`ati, Doa, (1995:7)
[22] “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (Q. al-Kahfi: 109).
[23] Lihat : Q.S. al-An’am: 135
[24] lihat: Qs. al-Mukmin: 60 dan hadits: “… maka wajib atas kamu berdo’a” (H.R. Tirmidzi), dan “… maka wajib atas kamu beribadah kepada Allah dengan berdo’a” (H.R. Hakim).

[25] Q.S. al-Mukmin: 14
[26] Q.S. Yunus: 106
[27] “Tidak seseorang muslim di muka bumi ini yang berdo’a meminta sesuatu kepada Allah, melainkan Allah mengabulkannya sebagaimana yang dimintanya, atau dipalingkan (oleh) Allah dari sesuatu bencana selama ia tidak berdo’a dengan sesuatu yang membawa dosa atau memutuskan tali silaturahmi” (.R. H.Turmudzi). Hadis lain berbunyi:“ Sesungguhnya do’a seseorang itu tidak akan lepas dari salah satu di antara tiga hal, adakalanya diampunkan dosanya, adakalanya diberikan kebaikan segera (kontan), dan adakalanya ditunda pengabulannya” (H.R. Dailami)

[28] “Nabi bersabda: ‘Hai manusia, bahwasanya Allah itu maha baik, hanya menerima yang baik’. Allah bersabda: ‘Hai orang-orang beriman makanlah dari yang baik-baik dan beramal shalihlah….kemudian menyebut nabi akan seseorang yang telah jauh perjalannanya, rambutnya kusut, pakaiannya berdebu, lalu berdo’a dengan menengadahkan tangannya ke atas, ya Rabb! Ya Rabb! Sementara itu makanannya haram, minumannya haram dan ia tumbuh dari barang yang haram, maka bagaimana Allah akan mengabulkan doanya”. (H. R. Muslim) 

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Dzikir, Shalat dan Do'a"

Posting Komentar